Tujuan Pendidikan
TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan
sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri
peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang
dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan
sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran
dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan
keterampilan yang memadai (income
generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif
dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh
kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun
keterampilan yang berguna untuk hidup praktis.
Tujuan
pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara).
Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang
menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai
manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab
dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi
yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus
memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas,
berkeahlian, namun tetap humanis.
Untuk
mewujudkan tujuan pendidikan tersebut perlu diusahakan pembaharuan yang
menyeluruh dalam institusi pendidikan. Pertama adalah usaha restrukturisasi
yaitu proses pelembagaan keyakinan, nilai dan norma baru tentang fungsi dasar,
proses dan struktur suatu lembaga untuk menjamin kepastian, keadilan, dan
pemanfaatan usaha pendidikan itu sendiri. Pelaksanaan Manajemen Berbasis
Sekolah sangat mendukung usaha restrukturisasi ini, asal dilaksanakan dengan
baik dan tepat. Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu bentuk dari
restrukturisasi. Kedua adalah rekulturisasi: yaitu proses pembudayaan perilaku
seseorang atau kelompok atas keyakinan, nilai dan norma baru yang diharapkan.
Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan
merupakan kunci rekulturasi. UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan
pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma
pembelajaran dan pendidikan, yaitu:
a.
Learning
to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi
peserta didiknya. Information supplier
(ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi. Peserta didik dimotivasi
sehingga timbul kebutuhan dari dirinya sendiri untuk memperoleh informasi, keterampilan
hidup (income generating skills), dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
b.
Learning
to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu
melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan,
perasaan dan penghendakan. Peserta didik dilatih untuk aktif-positif daripada
aktif-negatif. Pengajaran yang hanya menekankan aspek intelektual saja sudah
usang.
c.
Learning
to live together: ini adalah tanggapan nyata terhadap
arus deras spesialisme dan individualisme. Nilai baru seperti kompetisi,
efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah diterapkan secara keliru dalam dunia
pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi hanya akan bersifat adil kalau
berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada kesamaan kemampuan,
kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah merupakan kompetisi yang
akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “kalah”. Sekolah sebagai suatu
masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”, kerjasama dan
bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata, yang
hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri
dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu paguyuban penuh
kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa, atau aspek-aspek
kemanusiaan manusia.
d.
Learning
to be: dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa
percaya diri yang tinggi. Setiap peserta didik memiliki harga diri berdasarkan
diri yang senyatanya. Peserta didik dikondisikan dalam suasana yang dipercaya,
dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan,
adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat
menemukan jati dirinya. Subyek didik diberikan suasana dan sistem yang kondusif
untuk menjadi dirinya sendiri.
e.
Learning
throughout life yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat
dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur
hidup. Pelaku pendidikan formal hendaknya berorientasi pada proses dan bukan
pada hasil atau produk semata.
Menurut
Sanusi (1990) dalam http://file.upi.edu/Direktori
, dimensi-dimensi dalam upaya penjaminan mutu sekolah meliputi dimensi hasil
belajar, dimensi mengajar bahan kajian, dan dimensi pengelolaan. Dimensi hasil
belajar dapat dipandang sebagai mutu output,
sedangkan dimensi pengelolaan dan mutu mengajar sebagai mutu proses, sementara
dimensi bahan kajian sebagai mutu input.
Berbagai dimensi tersebut dapat dipandang sebagai sumber-sumber mutu sekaligus
fokus mutu dalam penjaminan mutu sekolah.
Menurut
Mustoleh dalam (https://www.academia.edu)
berpendapat bahwa aktualisasi pendidikan nasional yang baru harus menerapkan
prinsip-prinsip : (1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan (community based education); (2)
demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya pendidikan yang profesional;
dan (4) sumber daya penunjang yang memadai, dan (5) membangun pendidikan yang
berorientasi pada kualitas individu berbasis karakter
Paradigma
baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak
lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat
dalam arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam
paradigma baru ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan,
tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar
memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang
sekolah, akan tetapi yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta
menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, ermasuk meningkatkan
mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat
memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Hal ini bukanlah
sesuatu yang mudah karena banyak kendala yang mempengaruhi, antara lain: (1)
bagi masyarakat hal ini merupakan masalah baru sehingga perlu proses
sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya
dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana karena tingkat pendidikan dan ekonomi
relatif baik, sehingga tidak sulit menyeleksi orang-orang yang akan duduk pada
posisi tanggung jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota
kecamatan dan desa masalahnya menjadi rumit karena tingkat pendidikan
masyarakatnya rendah dengan kondisi kehidupan miskin.
Hubungan
sekolah dan masyarakat diharapkan mampu menumbuhkan kreativitas serta dinamika
kedua belah pihak sehingga hubungan tersebut bersifat aktif dan dinamis, sehingga
pada gilirannya prinsif transparansi yang dilakukan oleh keduanya akan mengarah
pada profesionalisasi pengelolaan kelembagaan yang senantiasa membawa kearah
perubahan yang inovatif sehingga akan berdampak pada peningkatan mutu
kelembagaan secara total (total quality
management).
Jadi, untuk
membangun/menjalankan proses pendidikan agar mampu menghasilkan lulusan
(manusia) yang seutuhnya (self help)
antara lain:
a. Melalui
perluasan layanan secara nasional, penjaminan kualitas mutu dan relevansi serta
daya saing yang tinggi.
b. Mengaktifkan
peran komite sekolah dalam memberikan kontrol terhadap mutu kelembagaan.
Comments
Post a Comment